#05-Kasta Hati


"Gitu aja nangis, cengeng banget sih!"
"Dasar cengeng! Jadi perempuan aja sana."
"Laki-laki kok cengeng gitu sih, ilfeel deh."
"Gimana mau jagain perempuan, situ cengeng banget!"
"Ganti kelamin aja sana, cengeng banget!"

Banyak cacian lainnya yang keluar dari mulut suci mereka. Mereka yang hanya mengenalku sebatas nama, mampu menilaiku hanya karena aku mudah menangis. Di mata mereka, seorang lelaki yang menangis merupakan hal yang rendah. Menurut mereka, menangis itu hanya diperuntukkan untuk perempuan saja. Lihat, betapa tak punya hatinya mereka.

Memang benar, hatiku tak sekuat hati mereka. Hatiku mudah rapuh jika mendengar kata yang tak mengenakkan untuk diriku. Karena aku juga bukan manusia yang sempurna.

Siang ini aku akan bertemu dengan para anggota dari klub buku yang kuikuti. Menyenangkan rasanya berteman dengan mereka-mereka yang sama sekali tidak suka mengurusi kehidupan orang lain, terlebih lagi mereka tidak suka mencela. Mereka sangat menghargai setiap perasaan yang ada di dalam diri seseorang. Karena menurut mereka setiap manusia tidak sama.

Aku sudah sampai di tempat yang dijanjikan, sebuah kafe yang dikelilingi oleh banyak buku. Tentu saja kafe ini salah satu dari kafe favoritku. Ya, aku sering duduk sambil menyesap minuman hangat maupun dingin di sini dan ditemani buku-buku bagus.

"Hai!" ucap salah seorang temanku bernama Dara. Tentu aku langsung bersalaman dengannya dan tersenyum hangat.

Di klub buku ini, Dara adalah teman dekatku. Sering sekali dia menyarankanku untuk membaca banyak buku yang disukainya. Dara yang ceria dan memiliki energi unlimited sangat disukai banyak orang. Dara tidak pernah memilih-milih dalam bergaul.

"Gimana kerjaan hari ini? Lembur lagi?" tanyaku pada Dara.

"Yah, seperti biasanya, banyak penulis yang mengirimkan naskah mereka. Sangat melelahkan harus membaca tulisan mereka. Tapi ya bagaimana pun juga, namanya ini sudah pilihanku. Harus tetap dijalani," balasnya dan diakhiri dengan tawa.

"Berapa banyak naskah yang masih menunggu untuk dibaca?" tanyaku lagi padanya.

"Sepuluh lagi," jawabnya singkat.

×××

Setelah menghadiri pertemuan klub buku kemarin, aku langsung pulang dan beristirahat di rumah. Menyenangkan rasanya dapat bertukar pikiran dengan mereka. Tentunya dengan kehadiran senior klub buku, membuat kami tambah semangat untuk mendengarkan wejangan dari beliau.

Tapi sayang, kemarin aku tidak bisa berbincang banyak dengan Dara. Karena pekerjaannya yang begitu menumpuk. Selain bekerja sebagai editor, Dara juga merupakan penulis yang hebat. Kata per katanya mampu menghunus hati. Kalimat yang dirangkainya membius siapa saja yang membaca.

Ia telah menerbitkan beberapa buku yang sangat bagus. Ada satu bukunya yang menjadi favoritku, yaitu Menangis Bersama Mimpi. Bukunya sangat membantuku untuk bangkit dari keadaanku. Kata-kata penyemangat yang ditulisnya sangat mempengaruhi hidupku. Begini kata penyemangat yang menjadi peganganku sampai saat ini, 'Disaat nangis masih mudah dilakukan, disaat itulah kita harus percaya, bahwa kita masih manusiawi'.

"Hari ini kamu pulang jam berapa, Ka?" tanya mamaku yang sedang menyiapkan sarapan pagi.

"Belum tau, Ma. Karena banyak kerjaan juga di kantor," jawabku.

"Jangan terlalu larut, kamu juga harus istirahat." Mamaku kembali mengingatkanku untuk tidak pulang larut malam, karena itu membahayakanku juga.

"Iya, Ma. Diusahakan," sahutku lagi.

×××

Ingin rasanya aku memukul hati mereka yang sama seperti batu. Namun tentu hal itu akan menjadi perbuatan yang sia-sia. Seakan air mata yang tiba-tiba kukeluarkan adalah sebuah bangkai yang sangat menyengat.

"Bahkan kerjamu biasa saja daripada usahaku. Tapi, aku gak tau kenapa bisa atasan lebih menyukaimu daripada aku yang lebih senior darimu. Aku juga gak tau apa yang dilihat atasan dari dirimu yang cengeng dan manja," hina kolega sekantorku.

Hatiku sakit mendengar hinaan darinya, tanpa pandang hormat lagi aku menyahut perkataannya, "Hanya ada satu jawaban atas perkataan dari Anda. Tidak mungkin hal yang minus akan menang dari yang plus." Aku langsung meninggalkannya yang tengah berang terhadap perkataanku.

Setelah selesai semua kerjaan di kantor, aku tidak langsung pulang, tetapi aku mampir ke kafe favoritku. Malam ini sedikit berbeda, aku kembali bertemu dengan Dara. Ia tengah menyesap kopi hangat dan ditemani laptop di depannya.

"Hai, Dara," sapaku padanya.

"Hai, Jaka," sahutnya sembari tersenyum manis ke arahku.

"Masih tetap kerja?" tanyaku.

"Hm, begitulah. Ada apa denganmu? Terlihat lesu," ucapnya kepadaku.

"Terlihat ya?" tanyaku balik kepadanya.

"Sangat," balasnya singkat.

"Menurutmu lelaki cengeng itu sangat buruk, ya?" Aku bertanya serius kepadanya.

Ketika mendengar pertanyaanku, ia langsung tertawa, "Hati manusia itu beda-beda, Ka. Mau laki-laki ataupun perempuan itu punya sifat, sikap, perilaku, pikiran, dan hati yang berbeda. Anak kembar yang satu rahim juga beda. Aku gak pernah menganggap buruk hal cengeng, karena itu manusiawi," jawabnya dengan lembut.

"Kenapa itu hal yang manusiawi?" tanyaku lagi dengan penasaran.

"Selagi kita masih bisa menangis dan peka terhadap hal sekitar, itu tandanya kita masih berada di tempat kita yang sebenarnya, menjadi manusia. Kalau kita gak bisa menangis, tidak peka, berkata kasar, jahat, itu bukan hal yang manusiawi lagi,"

"Harusnya kita bersyukur karena dengan mudah dapat menjatuhkan air mata dan merasakan emosional. Gimana dengan orang-orang yang hatinya jauh dari kata lembut? Sangat kasihan," jelasnya panjang lebar kepadaku.

Pemikirannya yang baik dan positif, menambah semangat hidupku. Rasanya benar yang Dara katakan, tidak ada batu yang tidak keras, dan juga tidak ada bubur yang tidak lembut.

"Lalu bagaimana cara menanggapi orang yang selalu mengatakan lelaki tidak boleh cengeng? Jujur, aku lelah, Ra mendengar cacian itu. Mereka bahkan menyuruhku berpindah kelamin." Aku kembali bertanya kepadanya.

Dara sedikit terkejut mendengar ucapanku, dapat dilihat dari matanya yang melebar. Lalu ia tersenyum dan mengehela napas sejenak, "Keadaan kamu sekarang persis seperti keadaanku dulu. Selalu terjatuh dan patah semangat. Ketika ingin bangkit, orang-orang tak bertanggung jawab mulai mematahkan semuanya. Hancur lebur, lalu semangat tadi mulai melayang seperti debu," ucapnya.

"Tetapi karena aku merasa aku masih dalam batas manusiawi, aku akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. Speak up atas diri kita adalah jalan untuk hati kita yang sakit. Aku menyahut perkataan mereka yang bilang kalau aku itu terlalu cengeng dan gak bisa ditemani, aku mengatakan 'Aku menangis bukan urusan kalian. Air mataku terjatuh juga tidak merugikan kalian sama sekali. Aku mampu menangis karena aku sangat mengenali diriku. Aku menangis karena aku masih manusia. Karena hanya manusia yang mampu menangis dan punya emosional yang peka'. Mereka terdiam dan perlahan mulai melipir menjauh. Mereka egois, melampiaskan kesepian mereka kepada kita yang terlihat lemah, padahal mereka bersembunyi dibalik kata-kata caciannya." Dara menjelaskan seluruh pengalamannya kepadaku. Aku tidak menyangka sama sekali jika seorang Dara yang memiliki banyak kolega ternyata punya pengalaman mirip sepertiku.

"Kamu sekali-sekali butuh speak up, Ka. Karena itu sangat penting untuk kebaikan hati kita sendiri. Kamu boleh menangis sepuasnya, tetapi ingat, menangislah karena kamu ingin menangis dan sakit. Jangan menangis karena kamu ingin dikasihani. Menangislah secukupnya, Jaka," ucapnya lagi sembari menasihatiku.

Sungguh aku berterima kasih kepadanya, semua perkataannya dan nasihat darinya sangat membantu diriku untuk pulih. Benar katanya, mengutarakan isi hati itu sangat penting. Agar mereka mengerti bahwa bumi tidak hanya berputar di sisi mereka saja, tetapi di sisi semua orang. Karena manusia sejati adalah manusia yang mampu merasakan keadaan sekitarnya, lalu berbuat baik kepada sesama.

"Terima kasih, Dara. Kamu merubah duniaku," ucapku penuh syukur kepadanya.

Speak up atas diri kita adalah jalan untuk hati kita yang sakit

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

#03-Intensi Jiwa

#01—Kamu

#04-Melebur Rasa